top of page

Bianglala

  • Writer: Mochammad Rezky
    Mochammad Rezky
  • Jun 29, 2019
  • 2 min read

Bianglala yang indah,

Saat aku menaiki ini ada yang menemaniku.

Di sampingku duduk dengan sopan,

Wajah hangatnya sangat menawan.


Fase pertama yang tak lama,

Aku menatapi dunia dengan ketakutan, mencari penerangan.

Yang ku ingat dia berkata, "Mas Aden sudah tak perlu risau kau bersamaku, duduklah ini akan

indah."


Sudahlah kini dua kali tinggi awal.

Aku tak merasa takut, sedikit kuat.

Sungguh kuat, "Tahan,,, tahan,,, tahan."

Kurasa sudah cukuplah kuat aku.


Waktu berjalan, terus berjalan

pun roda ini sedang berputar menuju puncaknya.

"Cah Ayu... aku tetap takut, aku tak yakin. Sungguhlah itu, aku belum kuat. Bantu tuntun aku, jangan

pernah mengubah diriku." Aku kalut, hati bergemuruh di tingginya bianglala ini.


"Mas Aden... Dengarkan aku, aku ada yang selalu bersamamu, aku dan Ia. Tuhan Semesta Alam, aku

ada jika kau berada di dekat-Nya." Dengan mantap menatapku, tak lama kepalanya menoleh pada

kaca, "lihatlah, betapa indahnya dari sini bukan? Kau butuh rasa kuat dan berani, baik kau sedang

naik atau sedang turun. Aku adalah gambaranmu Mas Aden, bahkan aku adalah kau."


Di puncak sini rasanya rembulan begitu memesona, tunduk patuh menerima apa yang diberikan

hingga mampu bersinar. "Cah Ayu... Aku sedang takut benar-benar takut, bukan soal naik atau turunnya bianglala ini. Aku takut kau tak sebaik-baiknya aku sebagai hamba." Tak pernah diragukan, rasa kuat tak pernahpudar, saat aku bersamamu. Meski kau dengan hangatnya tersenyum, menatap keluar.


Menurun, kini tempat bagianku sedang turun. "Mas Aden... Aku tahu apa yang harus kau lakukan, bahkan kau sendiri tahu itu. Sungguh baik kau memerhatikanku, menuntunku, mensyukuriku, memantapkanku, tetapi satu dari beberapa hal yang tak pernah aku suka, yaitu rasa posesifmu yang mungkin akan jadi bumerang tersendiri." Dia menghela nafas, sungguh aku tak tahu seberapa kuat dia bagaimana keadaan sesungguhnya sekarang hingga nanti, sebab begitu tertutup rasa hatinya.


Bulan itu memuncak, mengagungkan sinarnya sebagai rasa syukur yang teramat.

Tak lama tempatku ini sampai di bawah. "Sudahlah sampai sebentar lagi Cah Ayu. Bila kau memang

adalah aku. Semoga aku dapat memahamimu lebih baik kelak."

Kutatapi matanya, kurasakan hangat bersamanya, bersama diriku di antara bianglala dan bulan

purnama.


"Mari Mas Aden kita turun, sudahlah sampai kita di bawah." Dia menuntunku keluar dengan kehati-

hatian.

Recent Posts

See All
Petani Kelam Kabut

Aku petani berurusan dengan padi, Tapi tubuhku kering kurang daging dari peternak. Tubuhku habis dimakan waktu, tapi aku bingung makan...

 
 
 
Kepala Babi

Memang si bangsat, kerjanya jaga lilin duduk meringkuk. Diam banyak melamun, memikirkan anak-anak yang tumbuh jadi melarat. Dengan hanya...

 
 
 

Comments


  • facebook
  • twitter
  • linkedin

©2019 by Tulistik. Proudly created with Wix.com

bottom of page